LANGIT7.ID--
Prof Dr KH Nasaruddin Umar mengatakan hampir semua
tafsir yang ada mengalami
gender bias. Hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur Tengah yang
androcentris.
"Bukan hanya kitab-kitab Tafsir tetapi juga kamus," ujar Nasaruddin Umar lewat tulisannya berjudul "
Perspektif Jender Dalam Islam" dalam buku Jurnal Pemikiran Islam Paramadina.
Dia mencontohkan,
al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata dengan
al-dzikr berarti mengingat. Kata khalifah di dalam kamus Arab paling standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: "khalifah hanya digunakan di dalam bentuk maskulin" (
al-khalifah la yakun illa al-dzakar).
Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat warisan (QS al-Nis'a'/4: 11), persaksian (QS al-Baqarah/2:228, Surat al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai pemimpin/qawwamah (QS al-Nisa'/4:34), akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan.
Baca juga:
Persepsi Masyarakat Terhadap Gender Banyak Bersumber dari Tradisi KeagamaanAyat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu. Seperti diketahui, kata Nasaruddin Umar, ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat historical.
Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan detail (
muayyidat). "Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (
maqashid) ayat-ayat essensial, yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an," jelasnya.
Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
a). Apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus turunnya (yufid al-'alm), atau
b). Berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau
c). Hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengcover secara langsung peristiwa-peristiwa lain.
Baca juga:
Perempuan Tercipta dari Tulang Rusuk Adam? Begini Menurut Taurat, Injil dan Al-QuranAl-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliah.
Al-Qur'an dan hadis yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (
maqashid al-syari'ah).
Al-Qur'an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a). disampaikan secara bertahap (
al-tadrij fi al-tasyri), b). berangsur (
taqlil al-taklif), dan c). tanpa memberatkan (
a'dam al-haraj).
Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap. Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam masyarakat.
Nasaruddin menjelaskan dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan kedudukan perempuan sebelum Islam.
Misalnya dalam soal warisan; anak perempuan mendapat separuh bagian dari yang didapat anak laki-laki (QS al-Nisa'/4:11). Ketika ayat ini memberikan bagian kepada anak perempuan, meskipun itu hanya separuh, tanggapan masyarakat ketika itu sama ketika ayat haid diturunkan, yaitu menimbulkan kekagetan (
shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar (
great tradition) mereka.
Baca juga:
Misteri Nafs al-Wahidah: Asal-usul PerempuanKetentuan sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki. Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan perempuan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia masih belum dewasa.
"Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan peran jenis kelamin (
gender role), sementara peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu sangat menentukan,: ujar Nasaruddin Umar.
Mencari titik temu antara wahyu (revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha merumuskan suatu pranata --kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam-- dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar al-Qur'an.
Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih terkesan dominan tetapi martabat perempuan sudah diakui, bahkan perempuan selalu di bawah perlindungan laki-laki.
Kalau ia sebagai istri dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai anak dipertanggung jawabkan oleh Bapak, sebagai saudara dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki, meskipun ia lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki.
Kaum laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga clan dan/kabilah yang ketika itu sangat rawan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha', kata Nasaruddin, memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. "Jika kita konsisten terhadap kaidah
al-hukmu yadur ma'a al-illah (hukum mengikuti perkembangan zamannya) maka fiqh Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian," ujarnya.
Salah satu upaya al-Qur'an dalam menghilangkan ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak struktur masyarakat qabilah yang berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri bilateral-demokratis.
Promosi karier kelompok masyarakat qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan kelompok masyarakat ummah ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan suku bangsa. Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu'ubiyah), sedangkan Madinah terkesan lebih kosmopolitan.
(mif)