Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Jum'at, 07 November 2025
home masjid detail berita

Bayazid Bistami dan Bahasa Mabuk Cinta Ilahi

miftah yusufpati Jum'at, 29 Agustus 2025 - 05:15 WIB
Bayazid Bistami dan Bahasa Mabuk Cinta Ilahi
Seruan yang membuatnya dipuja para pencari Tuhan, tapi juga dikecam sebagai penyimpang. Ilustrasi Ist
LANGIT7.ID- Bistam, Iran Timur. Seorang zahid berjalan tanpa alas. Zikir lirih. Nafas pendek. Namanya Abu Yazid al-Busthami. Di Nusantara, ia lebih akrab sebagai Bayazid Bistami. Di dunia tasawuf, ia ikon. Juga polemik.

Ia hidup pada abad ke-3 H/9 M. Tanggal persisnya diperdebatkan. Sekitar 804–874 M. Latar keluarganya sederhana. Jalur pendidikannya asketik. Ia menghindari hiruk politik. Memilih jalan sunyi. (Schimmel, Mystical Dimensions of Islam; Nicholson, The Mystics of Islam).

Di kitab-kitab klasik, Abu Yazid termasyhur oleh shathiyyat. Ucapan ekstatis. Mengagetkan telinga formal. Paling terkenal: “Subhani, ma a‘zhama sya’ni”—“Mahasuci aku, betapa agung keadaanku.” Ucapan yang bagi fuqaha terdengar berbahaya. Bagi para sufi: bahasa orang yang “luruh” dalam Tuhan. Fana. (al-Qushayri, Al-Risalah; Hujwiri, Kashf al-Mahjub).

Konsepnya sederhana namun tajam: fana’ (lebur ego) lalu baqa’ (tegak dalam kesadaran Ilahi). Dalam keadaan sukr—mabuk spiritual—lidahnya menyalak metafor. “Yang berbicara bukan aku,” begitu tafsir para murid, “melainkan al-Haqq yang meminjam lisannya.”.

Baca juga: Gelombang yang Tak Pernah Padam: Sufisme dan Tantangan Zaman

Dari Zuhud ke Ekstase

Abu Yazid memulai dari zuhud ketat. Puasa. Qiyam. Sedikit makan. Banyak diam. Ia menolak hadiah penguasa. Jauh dari istana. “Tasawuf adalah meninggalkan dunia, kemudian meninggalkan akhirat, lalu meninggalkan selain Allah,” riwayat klasik menulis begitu. (Hujwiri; al-Sarraj, Al-Luma’).

Dari disiplin itu ia melompat ke dimensi ekstase. Jalan yang menantang tata bahasa tauhid. Ia menafsir ibadah sebagai gerak dari “aku” ke “Engkau”. Jika “aku” lenyap, tersisa hanya “Dia”. Di situlah shathiyyat lahir. .

Siapa gurunya? Sumber berbeda. Ada yang menyebut Abu Ali al-Sindi. Ada yang mengaitkan sanad rohani ke Ja‘far al-Shadiq. Tak semua sepakat. Namun genealogi maknawi-nya jelas: garis asketisme Khurasan. Lingkaran yang kelak melahirkan nama-nama seperti al-Hallaj, al-Junaid, dan Sahl al-Tustari dengan ragam corak. (Knysh, Sufism: A New History of Islamic Mysticism; Attar, Tadhkirat al-Awliya).

Jejak Abu Yazid melintasi batas bahasa. Kisah “mi’raj” rohani atau perjalanan naik menuju Hadirat mewarnai literatur Persia dan Arab. Di Nusantara, gaungnya hadir lewat pelajaran tarekat, syarah tasawuf, dan hikayat para wali.

Di mata sebagian fuqaha, kalimat Abu Yazid berbahaya. Bisa disalahpahami. Toh, tradisi besar tasawuf memberi pagar: sukr harus diimbangi sahw, kejernihan sadar. Al-Junaid menegur halus: hakikat tak boleh merusak syari’ah. Imam Ghazali kemudian merajut keduanya. Lahirlah jalan tengah: batin yang patuh pada lahir. (al-Qushayri; al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din).

Dengan kata lain, Abu Yazid adalah stress test bagi komunitas muslim. Ia menguji elastisitas teologi, etika, dan bahasa agama. Membuka ruang pengalaman tanpa merobohkan pilar syari’ah—jika dibaca dengan disiplin. (Schimmel; Karamustafa).

Baca juga: Jalan Sufi: Perjalanan Terpanjang, Bukan tentang Jarak

Mengapa Penting Hari Ini?

Zaman ini bising. Simbol bertebaran. Formalisme marak. Politik identitas menguat. Di tengah itu, Abu Yazid menawarkan kritik sunyi: hancurkan ego. Bukan untuk antinomianisme, melainkan untuk membersihkan motivasi. Agar ibadah bukan panggung. Agar aktivisme berakar pada ikhlas.

Ruang publik modern sering menagih definisi “kesalehan”. Abu Yazid membalik pertanyaan: siapa “aku” yang merasa saleh? Jika “aku” runtuh, yang tinggal hanya pengabdian. Tanpa tepuk tangan. Tanpa klaim.

Lalu, apakah shathiyyat harus dibiarkan? Ulama klasik memberi koridor. Ucapan ekstatis tak boleh dijadikan dalil umum. Itu pengalaman privat. Ia harus ditimbang di hadapan nash dan maslahat. Di sini, wibawa jamaah—komunitas—berperan sebagai rem epistemik.

Para peneliti modern menambahkan konteks. Karamustafa menyebut shathiyyat sebagai “retorika krisis”. Ledakan bahasa saat konsep tak cukup menampung pengalaman. Schimmel mengajak membaca metafor ini sebagai “puisi rohani”. Bukan akidah formal.

Baca juga: Jejak Tarekat Suhrawardi: Dari Keheningan Sufi ke Tren Meditasi Korporasi

Warisan bagi Tarekat

Banyak tarekat besar memelihara etos Abu Yazid: sederhana, keras pada diri, lembut pada sesama. Zikir teratur. Khalwat terukur. Cinta sebagai mesin batin. Dari Qadiriyah hingga Naqsyabandiyah, aksentuasi berbeda, tapi garis asketiknya serupa: menipiskan ego, menebalkan kasih.

Riwayat juga merekam rapuhnya tubuh Abu Yazid. Puasa panjang. Malam yang tak tidur. Ia meminta maaf pada ibunya ketika hendak keluar mencari guru. Pulang lagi saat sang ibu memerlukan. Asketisme bukan melupakan bakti. Ini memberi pelajaran: jalan rohani bukan pelarian dari tanggung jawab rumah.

“Subhani” akan tetap mengguncang. Tapi guncangan itu bermanfaat jika membuat kita menunduk. Menguji motif. Mengingatkan bahwa yang agung hanya Dia. Abu Yazid, dengan segala kontroversi, menawar obat pada penyakit paling tua: keakuan.

Dan mungkin itu sebabnya ia tak pernah benar-benar usang.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Jum'at 07 November 2025
Imsak
03:57
Shubuh
04:07
Dhuhur
11:40
Ashar
14:58
Maghrib
17:50
Isya
19:02
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan