Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 02 Mei 2024
home edukasi & pesantren detail berita

Rektor UII: Peradaban Islam Bisa Bangkit dengan Keterbukaan dan Kolaborasi

Muhajirin Senin, 19 Desember 2022 - 12:35 WIB
Rektor UII: Peradaban Islam Bisa Bangkit dengan Keterbukaan dan Kolaborasi
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Dr. Fathul Wahid (Dok Pribadi)
skyscraper (Desktop - langit7.id)
LANGIT7.ID, Yogyakarta - Nilai-nilai rahmatan lil alamin dalam Islam sejalan dengan kosmopolitanisme, di mana pada hakikatnya manusia terikat oleh solidaritas global lintas batas geografis dan budaya.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid, menilai kosmopolitanisme sudah melekat dengan Islam sejak awal. Itu yang menyebabkan Islam bisa diterima oleh manusia dengan latar-belakang berbeda dan dapat berkembang dengan pesat.

“Sejarah awal Islam sangat jelas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa ajaran Islam terbuka dan inklusif. Islam bisa berdialog dan bahkan melebur dengan budaya setempat,” kata Fathul dalam diskusi publik bertajuk Masa Depan Peradaban Islam: Kapitalisme Religius dan Kosmopolitanisme yang digelar UII, beberapa waktu lalu.

Untuk memetakan masa depan peradaban Islam, menurut Fathul, tak satupun kegemilangan peradaban manusia pada masa lampau yang merupakan kerja soliter atau prestasi seorang diri.

Baca Juga: Peradaban Islam Tak Kunjung Bangkit, Pakar Usulkan Kapitalisme Jadi Sarana

Kegemilangan itu merupakan akumulasi kerja bersama. Maka itu, mendesain masa depan secara kolektif menjadi sangat penting dan bahkan menjadi titik tolak kritis yang menentukan.

“Tanpa imaji kolektif yang disepakati, maka jangan heran jika sepanjang perjalanan banyak energi bocor untuk kembali memperdebatkan sesuatu yang seharusnya sudah selesai di tahapan yang lebih awal,” kata Fathul.

Fragmen seperti itu dapat terus berulang dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Maka itu, dalam kasus terburuk, umat Islam bisa saja menaiki sepeda statis.

“Betul, keringat mengucur deras dan energi terkuras, tetapi kita tidak pernah ke mana-mana alias jalan di tempat,” ujar Fathul.

Pilihan Sikap: Bersanding atau Bertanding

Berangkat dari kesadaran itu, Fathul mendorong umat Islam mulai mendiskusikan beberapa hal, termasuk kritik jujur terhadap masa kini, bayangan terhadap masa depan, desain anak tangga untuk mencapai kegemilangan, serta kontribusi apa yang bisa diulurkan.

Baca Juga: Alasan Kebangkitan Islam Tak Kunjung Terwujud Menurut Azyumardi Azra

Dalam hal ini, ada unsur primordialisme yang seharusnya mengikat lebih erat. Itu saat umat Islam mendiskusikan masa depannya sendiri. Tetapi, bukan tanpa jebakan.

“Tentu, kita sadar sepenuhnya, diskursus seperti ini bukan yang pertama. Sudah banyak literatur yang merekam pemikiran dalam topik ini,” ujar Fathul.

Dia berharap kesadaran etis kolektif dapat menjadi bahan bakar dengan daya dorong penggerak yang dahsyat. Tetapi tak boleh dilupakan, umat Islam tidak sendirian di muka bumi ini sejak dahulu.

Maka itu, umat Islam tidak boleh terjebak pada pemahaman bahwa peradaban Islam, jika merujuk pada zaman keemasan Islam saat Eropa mengalami era kegelapan, adalah titik kilometer nol peradaban manusia.

“Pemahaman seperti ini hanya akan mengabarkan bahwa kita bukan pembaca yang baik dan literasi sejarah kita kurang luas. Sejarah mencatat bahwa peradaban dunia justru saling belajar,” ujar Fathul.

Zaman keemasan Islam justru menjadi contoh yang sangat baik, bahwa peradaban bisa saling bersanding (saling berkontribusi) dan tidak selalu bertanding (saling berbenturan). Ketika itu, para ilmuwan lintas latar belakang negara bahkan agama dapat bekerjasama dengan baik.

Baca Juga: Syarat Kebangkitan Peradaban Islam Menurut Azyumardi Azra

“kita bisa menjadikan fenomena itu sebagai ilustrasi kosmopolitanisme dalam Islam, misalnya. Tesis yang diusung oleh Huntington tentang benturan peradaban, karenanya, sangat mungkin dibaca ulang dengan kacamata lain,” ujar Fathul.

Sebetulnya, kata dia, label peradaban Islam tidak dikonstruksi pada zaman keemasan. Tetapi, label itu diberikan oleh ahli sejarah modern. Secara semiotik, tidak ada label yang bisa merengkuh semua pemahaman secara komprehensif.

“Selalu ada saja penyempitan dan bahkan distorsi. Karenanya, ia harus diikuti dengan definisi operasional yang memadai,” ujar Fathul.

Hal itu juga berlaku untuk label yang digunakan hari ini, termasuk kapitalisme religius dan kosmopolitanisme. Keduanya memerlukan diskusi untuk memahaminya, tentu dengan ruang yang terbuka lebar untuk keragaman tafsir.

Kosmopolitan Islam: Hubungan dengan Liyan

Nilai Islam yang terbuka dan inklusif menunjukkan bahwa kosmopolitanisme sudah melekat dengan Islam sejak kelahirannya. Itu yang menyebabkan Islam mudah diterima semua latar belakang masyarakat dan berkembang pesat. Islam bisa berdialog dan bahkan melebur dengan budaya setempat.

Baca Juga: Emil Salim Terinspirasi Pelajari Peradaban Islam dari Guru Kristen

Hubungan Islam dan liyan dalam situasi damai sangat harmonis. Piagam Madinah bisa menjadi contoh konkret. Suasana paling menghargai dan bekerjasama dengan liyan merupakan semangat yang dibawa Islam sejak awal.

“Saya tidak ingin bernostalgia dengan masa lampau, tapi mengajak hadirin untuk sejenak menengok ke belakang dan merawat pelajaran berharga yang masih sangat relevan untuk masa kini,” ujar Fathul.

Bagi Fathul, kosmopolitanisme Islam berangkat dari kesadaran bahwa manusia setara dan ajaran Islam bersikap merengkuh. Perbedaan adalah fakta sosial dan kehadirannya tidak lantas menjadi alasan untuk berdiri secara diametral dan selalu berbenturan.

“Hanya dengan penerimaan kesetaraan, diskusi dan kerjasama lintas aktor dapat dilakukan secara bermakna,” ungkap Fathul.

Maka itu, Fathul juga mengajak umat Islam tidak terlalu mudah ‘bermain sebagai korban’ untuk banyak masalah yang dihadapi. Dia khawatir hal tersebut muncul karena kegagalan menilai diri sendiri secara jujur.

Dia mencontohkan sardar yang mengingatkan bahwa masalah umat Islam ada tiga. Gagal mengapresiasi kekuatan diri, gagal memahami realitas dunia kontemporer, dan gagal meresponnya dengan cepat.

Baca Juga: UAS: Peradaban Islam Mundur karena Terpisahnya Sains dan Agama

“Akibatnya, umat Islam terjebak dalam sikap reaktif, lari dari satu jalan buntu ke jalan buntu lain, dari satu kuldesak ke kuldesak lain,” tutur Fathul.

Maka itu, melihat masa lalu secara jernih sangat penting untuk mendesain masa depan. Di sana akan ditemukan banyak Mutiara yang masih valid yang bisa dijadikan rujukan, tentu dengan tafsir yang lebih progresif.

“Kita ambil satu contoh, apakah penguasaan kapital penting dalam sebuah peradaban? Sebagian dari kita mungkin langsung teringat kemuliaan orang kemajuan peradaban memerlukan kapital,” kata Fathul.

Misalnya saat zaman keemasan, negara dan orang kaya menggelontorkan dana melimpah untuk pengembangan sains. Saat itu, salah satu episentrum pengembangan sains ada di Baghdad.

Baca Juga: Peradaban Islam Pernah Berjaya, Inilah Penyebab Keruntuhannya

Ketika krisis ekonomi melanda Irak pada abad ke-11, dukungan dana menurun drastis dan para ilmuwan pun berpencar. Dua pilar pengembangan sains saat itu, yaitu dukungan dana dan komunikasi antar ilmuwan, runtuh.

“Sejarah juga mencatat, abad ke-11 merupakan awal kemunduran peradaban Islam, yang dibarengi dengan menurunnya perhatian kepada pengembangan sains. Tentu, jika disepakati, pengeembangan sains dapat menjadi salah satu inspirasi strategi kebangkitan peradaban Islam masa depan,” ungkap Fathul.

(jqf)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 02 Mei 2024
Imsak
04:26
Shubuh
04:36
Dhuhur
11:53
Ashar
15:14
Maghrib
17:49
Isya
19:00
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan