LANGIT7.ID-Ketika dunia medis modern mendefinisikan kesehatan sebagai kondisi fisik dan mental yang seimbang, Islam telah jauh-jauh hari merumuskannya dalam kerangka spiritual. Dalam Musyawarah Nasional Ulama 1983, Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa kesehatan bukan semata urusan tubuh, tetapi ketahanan jasmani, rohani, dan sosial yang merupakan karunia Allah, yang wajib disyukuri, dijaga, dan dikembangkan.
Rumusan itu tak mengada-ada. Ia berakar kuat dalam warisan keislaman. Dalam buku
Wawasan Al-Qur'an,
Prof. Dr. M. Quraish Shihab menunjukkan betapa ajaran Islam—sejak wahyu pertama hingga sunah praktis
Rasulullah ﷺ—telah menyentuh ranah medis jauh sebelum ilmu kedokteran berkembang seperti hari ini.
“Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu,” sabda Nabi ﷺ suatu ketika, ketika menegur sahabat yang terlalu berlebihan dalam beribadah hingga melalaikan kebutuhan jasmaniah. Prinsip keseimbangan lahir-batin ini adalah denyut utama dalam Islam.
Dalam hal kesehatan fisik, Quraish Shihab menekankan, ajaran Islam selalu dimulai dari pencegahan, bukan pengobatan. Dan pencegahan itu dirumuskan dalam bentuk paling praktis: kebersihan.
Baca juga: 5 Nutrisi Ini Bagus untuk Kesehatan Rambut Jadi Lebih Kuat dan Lebat Ayat-ayat awal surah Al-Muddatstsir (74:4–5) yang memerintahkan Nabi untuk “membersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala kekotoran,” muncul bersamaan dengan tugas kerasulan. Artinya, menyampaikan agama dan menjaga kebersihan adalah dua sisi dari satu kepatuhan.
Bahkan jika sebagian ulama menilai hadis “Kebersihan sebagian dari iman” sebagai dha'if, maknanya tetap dikuatkan oleh puluhan hadis lainnya. “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang,” sabda Nabi. “Yang tertinggi adalah kalimat tauhid. Yang terendah: menyingkirkan gangguan dari jalan.” Sebuah tindakan sosial sekaligus sanitasi.
Sunah-sunah Nabi seperti menutup hidangan, mencuci tangan, bersiwak, larangan buang air di sumber air dan di bawah pohon, hingga larangan meniup air minum—adalah kode etik kesehatan yang baru diakui dunia medis berabad-abad kemudian.
Bahkan konsep karantina telah lebih dulu diajarkan dalam Islam. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, “Jika kalian mendengar ada wabah di suatu tempat, jangan mendatanginya. Dan jika kalian berada di sana, jangan keluar darinya.” Ini bukan sekadar pengendalian penyakit, tapi bentuk tanggung jawab kolektif terhadap kesehatan publik.
Al-Qur’an juga menyentuh aspek gizi dan pola makan. Ayat di surah Al-A'raf (7:31) menegaskan, “Makan dan minumlah, tapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” Ini bukan sekadar etika, tapi formula ilmiah untuk mencegah gangguan metabolik.
Baca juga: Unida Gontor Bakti Sosial, Ada Pemeriksaan Kesehatan Gratis sampai Penyembelihan Hewan Kurban Nabi ﷺ menjabarkan konsep moderasi itu dengan rinci: “Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulangnya. Jika harus, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafasnya.” Sebuah pedoman makan yang belakangan dikuatkan oleh prinsip diet seimbang para ahli gizi modern.
Quraish Shihab juga mencatat pendapat klasik ulama seperti Al-Harali yang menafsirkan ayat larangan memakan bangkai, darah, dan daging babi sebagai bukan hanya masalah najis, tapi juga rijs—keburukan moral dan mental.
Ulama kontemporer seperti Syaikh Taqi Falsafi bahkan mengutip Alexis Carrel, dokter peraih Nobel, yang mengakui bahwa kandungan kimiawi dalam makanan mempengaruhi jiwa dan pikiran, meskipun dunia kedokteran belum cukup jauh meneliti hal itu.
Dari wahyu pertama hingga ilmu gizi, dari sabda Nabi hingga hasil riset Nobel, Islam menenun satu kesatuan besar: kesehatan adalah ibadah, dan kebersihan adalah bagian dari jalan menuju kesempurnaan iman.
Baca juga: Ahli Kesehatan Anjurkan Konsumsi Serat dengan Asupan Air(mif)