Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Sabtu, 01 November 2025
home masjid detail berita

Lebih dari Mistisisme: Membaca Ulang Sufi sebagai Fondasi Pengetahuan

miftah yusufpati Selasa, 19 Agustus 2025 - 04:15 WIB
Lebih dari Mistisisme: Membaca Ulang Sufi sebagai Fondasi Pengetahuan
Gagasan-gagasan Sufi justru tersebar dan diam-diam menopang teori-teori besar di Barat. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Di awal abad ke-20, dunia ilmu pengetahuan Barat sedang gandrung pada spesialisasi. Setiap bidang dikerangkeng dalam kategori: filsafat di tangan filosof, psikologi di laboratorium, dan teologi diserahkan pada para imam. Seperti kata industrialis Amerika, Henry Ford, “Anda dapat memiliki mobil dengan warna apa pun, asal saja itu hitam.” Kutipan itu, seperti ditulis Idries Shah dalam Jalan Sufi (Risalah Gusti, 1999), menjadi metafora getir bagi para pemikir yang menolak dikurung dalam kotak akademis sempit.

Idries Shah, penulis asal Afghanistan yang lahir dari keluarga sufi terkemuka, menyoroti bagaimana tradisi ma’rifat Islam justru diperlakukan sebagai serpihan eksotik. “Para spesialis,” tulisnya, “kadang tidak menyadari keterikatannya dengan kategori-kategori yang mereka sendiri bangun.” Dalam situasi itu, gagasan sufistik yang cair, lintas disiplin, dan penuh nuansa, sering kali dipotong hingga hanya jadi catatan kaki.

Idries Shah mencatat, gagasan-gagasan Sufi justru tersebar dan diam-diam menopang teori-teori besar di Barat. Dari St. John of the Cross dan Teresa dari Avila dalam tradisi mistik Kristen, hingga Roger Bacon dan Geber dalam tradisi sains dan kimia. Bahkan Raymond Lully, filsuf Majorca, dan Guru Nanak, pendiri Sikhisme, meminjam kerangka gagasan serupa. “Banyak prosedur psikologi modern sesungguhnya berutang pada Sufi,” tulis Idries Shah, “meski kini dianggap penemuan baru di Barat.”

Baca juga: Murid di Persimpangan: Menyusuri Jejak Awal Sufi

Namun jejak ini kerap dipangkas. Bertrand Russell, misalnya, dalam bukunya Wisdom of the West (1959), mengakui peran pemikir Timur yang bersentuhan dengan Sufisme. Tapi Russell berhenti di situ: tak pernah ia menyebut siapa Sufi itu, atau dari mana tradisi tersebut berakar. Seorang profesor Inggris lain menulis hampir seratus ribu kata tentang filsafat Timur, tapi hanya menyisihkan satu halaman untuk Sufi, padahal dalam tulisannya tentang filsafat Barat, ia tak segan mengutip pengaruh yang sama.

Kritik terhadap kecenderungan ini sebenarnya bukan hal baru. Dalam kajian orientalisme, nama besar seperti Miguel Asín Palacios atau Louis Massignon telah sejak awal abad ke-20 menunjukkan jejak Sufi dalam filsafat dan teologi Eropa. Asín, misalnya, menyingkap keterhubungan mistik Kristen dengan Ibn ‘Arabi. Tapi, kata Idries Shah, ketika hasil-hasil kajian itu dikutip ulang, nama Sufi kerap disamarkan. “Yang tersisa hanyalah hasil, tanpa menyebut akar.”

Bagi Idries Shah, ini lebih dari sekadar persoalan akademis. “Kesalahan saya,” tulisnya dengan getir, “hanyalah mengganti kutipan dengan tambahan penulis, yang seharusnya fakta itu berbicara sendiri.” Kritik dari kalangan spesialis, menurutnya, sering lebih berupa serangan personal daripada upaya memahami substansi. Dalam satu perbincangan, seorang profesor menantangnya: apakah ia ingin mendiskreditkan otoritas akademis, atau sekadar menunggangi nama besar mereka.

Kontradiksi ini menyisakan ironi. Di satu sisi, Sufisme dianggap sebagai mistisisme samar, kadang dicampuradukkan dengan okultisme atau praktik magis yang murahan. Di sisi lain, justru unsur-unsur psikologi Sufi yang sahih masuk ke dalam metodologi terapi modern. Sejarawan ilmu pengetahuan, seperti Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam (1968), juga menegaskan: “Sufi bukan sekadar kaum mistik, mereka juga mewarisi tradisi pengetahuan kosmologis dan psikologis yang dalam.”

Baca juga: Jalan di Atas Air: Sebuah Kisah Sufi tentang Makna yang Melampaui Kaidah

Persoalannya, spesialisasi membuat jembatan-jembatan itu runtuh. Seorang psikolog tidak merasa perlu membaca teks mistik. Seorang teolog Kristen menganggap Sufi hanya serpihan asing. Padahal, jika mengikuti alur lintas sejarah, gagasan sufistik justru telah menjadi fondasi bagi apa yang kini disebut “spiritualitas universal.”

Di sini, terlihat problem epistemologis yang lebih besar. Dengan memenjarakan ilmu dalam kategori-kategori, kita kehilangan kemampuan menangkap “keseluruhan.” Apa yang dimaksud Idries Shah, mirip dengan kritik filsuf modern terhadap fragmentasi ilmu. Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962) menyebutnya sebagai “paradigma” yang membatasi cara pandang. Sementara dalam ranah spiritual, Sufi sejak lama menolak pembatasan itu: kebenaran, bagi mereka, tidak bisa dibatasi oleh disiplin tunggal.

Reaksi terhadap buku Idries Shah sendiri mencerminkan polarisasi itu. Sebagian pembaca menganggapnya harta karun: membuka jendela ke dunia ma’rifat yang terpendam. Sebagian lain mencemooh, menyebutnya kumpulan kutipan tanpa sistem. Tapi bagi Idries Shah, nilai utama bukunya justru pada pertemuan kembali antara teks akademis Barat dengan sumber hidup Sufi. “Kendati seleksi ini tidak lengkap, ia tetap gabungan yang berharga,” tulisnya.

Maka, kisah ini bukan sekadar tentang Sufi di Barat, melainkan tentang bagaimana dunia modern memperlakukan pengetahuan. Ketika kategori menjadi penjara, kita hanya diberi satu pilihan warna, seperti mobil Ford: hitam. Padahal dunia, seperti ajaran Sufi, lebih berwarna dari itu.

Baca juga: Kisah Sufi Humor Nasrudin Hoja: Sepotong Keju

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Sabtu 01 November 2025
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:40
Ashar
14:55
Maghrib
17:49
Isya
19:01
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan