LANGIT7.ID-Dalam riuhnya perdebatan tentang krisis moral, satu sifat kuno tetap bertahan melintasi zaman: kekikiran. Ia bukan sekadar perilaku enggan berbagi, melainkan penyakit hati yang diam-diam menggerogoti fondasi sosial. Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, mengingatkan dengan tegas: “Ada tiga hal yang membinasakan manusia: kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. Thabrani).
Fiqh klasik dan pemikiran kontemporer sama-sama sepakat bahwa kekikiran bukan sekadar soal harta. Syaikh Yusuf al-Qardhawi, dalam
Fiqh Prioritas (1996), menyebutnya sebagai “penyakit hati yang memutus rantai kebaikan.” Menurut Qardhawi, kekikiran lebih parah daripada bakhil. Jika bakhil hanya enggan mengeluarkan harta, kikir mencakup keengganan berbuat baik, membantu, bahkan sekadar memberikan nasihat.
“Kikir adalah kebutaan spiritual,” tulis Qardhawi. Sebab, ia lahir dari ketakutan akan miskin dan keraguan terhadap janji Allah. Al-Qur’an sendiri menyinggungnya dalam QS. Al-Hasyr: 9:
“Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”Pandangan ini diamini oleh ulama klasik seperti al-Ghazali. Dalam
Ihya’ Ulum al-Din, ia mengurai kikir sebagai “penyakit yang merusak amal,” karena membuat manusia takut kehilangan dunia, sekaligus lupa bahwa rezeki adalah milik Allah.
Baca juga: Larangan Bersifat Kikir, Kutub Ekstrim yang Harus Dihindari Dari Keserakahan ke KekerasanKekikiran bukan hanya urusan privat. Ia bisa menjelma jadi kejahatan sosial. Hadis riwayat Muslim menegaskan, “Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya umat sebelum kamu binasa karena kekikiran; ia mendorong mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang haram.”
Sejarawan Ibnu Khaldun, dalam
Muqaddimah, menyinggung korelasi antara kerakusan elite dengan runtuhnya peradaban. Menurutnya, “Negara yang dikuasai hasrat menumpuk harta akan menelantarkan keadilan, menindas rakyat, dan akhirnya hancur oleh keserakahan sendiri.” Kekikiran di level individu bisa membiak menjadi kebijakan yang mengorbankan kepentingan umum.
Fenomena ini terasa relevan ketika korupsi merajalela. Data Corruption Perceptions Index Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 34/100 (2023)—indikasi bahwa mentalitas mengakumulasi kekayaan pribadi masih membayangi birokrasi.
Baca juga: Selain Sucikan Harta, Berzakat Bisa Hindari Sifat Kikir dan Tamak Psikologi Kekikiran: Antara Ketakutan dan EgoIlmu modern tak kalah keras menguliti sifat ini. Richard Thaler, peraih Nobel Ekonomi, dalam
Misbehaving (2015) menjelaskan, manusia punya loss aversion bias yakni kecenderungan lebih takut kehilangan daripada senang mendapat keuntungan. Kekikiran tumbuh dari rasa takut kehilangan, diperkuat ego yang ingin terus menumpuk.
Dalam kacamata psikologi sosial, sifat ini berkaitan erat dengan
scarcity mindset—pandangan bahwa sumber daya terbatas, sehingga orang menahan diri memberi meskipun mampu. Akibatnya, lahir ketidakadilan struktural.
Islam menempatkan infak, zakat, dan sedekah sebagai penawar racun ini. QS. Al-Baqarah: 261 menggambarkan keutamaan memberi: “Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir...”
Qardhawi menegaskan konsep
fiqh prioritas: menyalurkan harta bukan sekadar amal, tapi strategi sosial untuk menutup jurang ketimpangan. Di tengah kemiskinan dan bencana, kekikiran bukan lagi dosa personal, melainkan pengkhianatan terhadap solidaritas.
Baca juga: Ngerinya Doa Malaikat bagi Orang-Orang yang Bakhil Ironisnya, modernitas justru melestarikan kekikiran dalam bentuk baru. Hedonisme dan kapitalisme memuja akumulasi, sementara filantropi sering dibingkai sebagai pencitraan. Laporan
World Inequality Repor* (2022) menunjukkan, 10 persen orang terkaya menguasai lebih dari 76 persen kekayaan dunia. Apakah ini sekadar ketimpangan ekonomi, atau refleksi kikir yang dilembagakan?
(mif)