LANGIT7.ID- Suatu siang di Kairo, Syaikh Yusuf al-Qardhawi membuka kitab kecil yang kemudian menjadi salah satu karya pentingnya:
Fiqh Prioritas (Robbani Press, 1996). Di dalamnya, ulama asal Mesir itu menegaskan bahwa membangun sistem politik atau institusi sosial tanpa membenahi manusia hanyalah pekerjaan sia-sia.
Ia merujuk firman Allah dalam surat ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Bagi al-Qardhawi, ayat ini adalah prinsip dasar islah—perbaikan.
Manusia, tulis al-Qardhawi, adalah batu pertama dalam bangunan masyarakat. Jika fondasi itu keropos, mustahil tegak struktur yang kokoh. Itulah sebabnya Nabi Muhammad, selama 13 tahun di Makkah, fokus pada pembinaan iman sahabat sebelum turunnya hukum syariah yang mengatur keluarga dan negara.
“Kerja Nabi bukanlah langsung membentuk sistem hukum, melainkan mendidik generasi beriman yang kelak menjadi pengemban risalah,” kata al-Qardhawi. Rumah Al-Arqam bin Abi al-Arqam menjadi ruang kaderisasi sunyi, tempat ayat-ayat al-Qur’an diturunkan perlahan untuk menanamkan keyakinan.
Baca juga: Makruh: Antara Larangan dan Adab dalam Fikih Islam Iman Sebagai Mesin PerubahanAl-Qardhawi menulis panjang tentang iman sebagai kekuatan transformatif. Tanpa iman, manusia hanyalah “debu-debu halus di alam semesta.” Dengan iman, manusia menemukan makna, arah, bahkan keberanian menghadapi tirani. Ia menunjuk kisah para ahli sihir Fir’aun yang berbalik menentang penguasa setelah beriman kepada Tuhan Musa: “Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini.” (QS Taha: 72).
Bagi al-Qardhawi, iman bukan sekadar perasaan religius, melainkan kekuatan yang “melahirkan semangat baru, akal baru, dan filsafat hidup baru.”
Di tengah perdebatan modern soal reformasi hukum Islam, al-Qardhawi memberi peringatan. Jangan terjebak pada simbol-simbol luar, sementara pembinaan manusia diabaikan. “Kita tidak dapat menggiring manusia seperti ternak, atau membentuknya seperti peralatan rumah tangga,” tulisnya.
Perubahan, kata dia, harus menyentuh akal, ruh, jasmani, dan perilaku secara seimbang. Pendidikan, ibadah, olahraga, hingga disiplin sosial adalah paket pembinaan yang tak bisa dipisahkan.
Baca juga: Kudeta dalam Timbangan Syariat: Dari Fikih hingga Tank di Jalanan Kritik untuk Umat KiniPesan al-Qardhawi terasa relevan bagi umat Islam modern yang sering tergoda dengan jargon besar: penegakan negara Islam, penerapan hukum syariah, atau pembangunan institusi keagamaan. Tanpa manusia yang matang secara iman dan akhlak, semua itu hanya kulit.
Quraish Shihab, mufasir Indonesia, dalam
Membumikan Al-Qur’an (1992) pernah menyatakan hal serupa: “Al-Qur’an menaruh perhatian lebih besar pada pembentukan pribadi daripada sistem. Sistem tanpa manusia yang benar hanya akan melahirkan kedzaliman baru.”
Al-Qardhawi mengutip pepatah lama: “Dapatkah sebuah bangunan diselesaikan; apabila engkau membangunnya dan orang lain menghancurkannya?” Bagi dia, fondasi manusia saleh adalah jaminan agar bangunan masyarakat tidak roboh.
Dengan demikian, islah tidak sekadar proyek politik. Ia adalah pekerjaan rumah setiap muslim: memperbaiki diri, menata iman, lalu bergerak bersama memperbaiki sistem.
Baca juga: Wacana Hukuman Mati bagi Koruptor: Telaah Fikih dan Maqasid al-Syari’ah(mif)