Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Sabtu, 18 Januari 2025
home edukasi & pesantren detail berita

Kolom Pakar: Paradigma Tentang Subyek dan Obyek Hukum Dalam Metodologi Hukum Islam

tim langit 7 Kamis, 21 November 2024 - 06:24 WIB
Kolom Pakar: Paradigma Tentang Subyek dan Obyek Hukum Dalam Metodologi Hukum Islam
*Dr. Beni Ahmad Saebani,M.Si

Dosen Pascasarjana (S3 Hukum Islam) UIN Sunan Gunung Djati Bandung

LANGIT7.ID-Dalam konsep ilmu Ushul Fiqh, hukum dibagi dua macam, yaitu: Pertama, hukum taklifi; kedua, hukum wad'i. Secara terminologis, hukum adalah khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk al-iqtida, al-takhyir, dan al-wad'i (Abdul wahab Khalaf, 1986:105) Yang dimaksud dengan khithab adalah firman Allah yang berupa perintah-perintah atau larangan-larangan. Khithab sebagai al-mukhthab bih, yakni produk dari khitab yang berupa jenis perbuatan hukum.

Kata al-Iqtida' (imperatif) ialah tuntutan untuk melakukan sesuatu perbuatan atau untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Tuntutan yang harus dilaksanakan, karena jika tidak dilaksanakan akan mendapat dosa dan siksaan disebut dengan wajib, sedangkan tuntutan yang harus ditinggal, jika dilakukan akan berdosa dan mendapat siksa, disebut dengan haram. Sedangkan tuntutan yang jika dilakukan atau ditinggalkan tidak mendapat dosa dan siksa, disebut dengan makruh. Adapun al-Takhyir (fakultatif) ialah apabila Hakim memberikan pilihan kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukannya, yang disebut dengan al-ibahah, perbuatannya disebut mubah. Perbuatan hukum yang berupa al-iqtida dan al-takhyir disebut dengan al-Ahkam al-Khamsah atau al-hukm al-taklifi.

Baca juga: Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Cita Hukum

Adapun yang dimaksud dengan khithab Allah adalah semua bentuk dalil, baik al-Qur'an maupun al-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, serta perbuatan jasmani

Hukum taklifi ada lima macam, yaitu:
1. Ijab, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti;
2. Nadb, yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti;
3. Tahrim, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti;
4. Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti;
5. Ibahah, yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.

Menurut ulama Hanafiyah hukum taklifi dibagi tujuh, yaitu: (1) Fardhu; (2) Wajib; (3) Tahrim; (4) Karahah Tahrim; (5) Karahah Tanzih; (6) Nadb; dan (7) Ibahah. Menutut ulama Hanafiyah, jika suatu perintah didasarkan pada dalil yang pasti, seperti al-Qur'an dan hadits mutawatir, maka perintah itu disebut dengan fardhu. Tetapi jika perintah itu berdasarkan kepada dalil yang zhanni, maka dinamakan wajib. Demikian pula halnya dengan larangan, jika larangan itu didasarkan kepada dalil yang qath'i, maka disebut haram. Sebaliknya jika larangan itu didasarkan kepada dalil yang zhanni, maka tergolong kepada hukum makruh. Lima atau tujuh jenis hukum tersebut dinamakan dengan taklifiyah, yang artinya tuntutan atau memberi beban. Taklif disebut pula dengan sebagai jenis perbuatan hukum.(Abu Zahrah, 1988:26-27 dan Abdul wahab Khalaf, 1986:105).

Hukum wadh'i, ialah firman yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabab) atau sebagai syarat yang lain (masyrut) atau sebagai penghalang (mani') adanya yang lain. Karena itu hukum wadh'i dibagi tiga, yakni sebab, syarat, dan mani'. Sabab, ialah sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum (musabab), artinya dengan adanya sebab, maka dengan sendirinya akan terwujud hukum atau musabab. Contoh tertang sanksi bagi pezina, sebagaimana terdapat dalam surat al-Nur ayat 2, artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman."

Adanya hukum jilid sebanyak seratus kali deraan adalah karena pelaku melakukan perzinahan. Masih banyak contoh lainnya yang termasuk kepada hukum wadh'i kategori sabab. Menurut Hanafi Sabab terdiri dari enam macam, yaitu:

1. Sebab di luar usaha atau kesanggupan mukallaf, sebagaimana keadaan emergensi atau darurat menjadi sebab memakai bangkai tidak berdosa, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat dhuhur, telah dewasanya umur seseorang menjadi sebab ia terkena beban taklif, dan sebagainya;

2. Sebab yang disanggupi dan dapat diusahakan oleh mukallaf. Sebab yang demikian dibagi dua, yaitu: (1) yang termasuk dalam hukum taklifi; (2) yang termasuk dalam hukum wadh'i;

3. Mengerjakan sebab berarti menghendaki musabbabnya, karena sebab-sebab itu tidak dinamakan sebab kalau tidak untuk menghasilkan musabbabnya, contoh, seseorang menikah, maka akan melahirkan hukum lain sebagai akibat dari adanya pernikahan, misalnya adanya harta bersama, saling mewarisi, adanya dukhul, dan sebagainya;

4. Mengerjakan sebab berarti mengerjakan musabbabnya, disadari atau tidak. Seolah-olah orang yang mengerjakan sebab, dengan langsung mengerjakan musabbabnya, meskipun musabbabnya itu bukan dari pekerjaannya. Dengan mengerjakan sebab ia harus memikul resiko perbuatannya yang menjadi musabbab, seperti qishash sebagai balasan bagi pembunuh;

5. Orang yang mengerjakan sebab dengan sempurna syarat-syaratnya dan tidak terdapat halangannya, maka orang tersebut tidak bisa mengelakkan diri dari musabbabnya. Membeli adalah sebab adanya hak milik. Bagaimanapun ia tidak menghendaki hak milik tersebut, ia tidak dapat lepas dari hak itu;

6. Sebab-sebab yang dilarang adalah sebab-sebab kerusakan atau keburukan, sebagaimana kebalikannya sebab-sebab yang diperintahkan adalah sebab-sebab kebaikan dan kemaslahatan. Sebagaimanadilarangnya melakukan praktek riba, karena akan ada orang yang tidak berdaya, sedangkan perang di jalan Allah diperintahkan, meskipun peperangan mendatangkan kerusakan jiwa dan harta benda.

Hukum wadh'i yang kedua adalah syarat, yaitu sesuatu yang karenanya baru ada hukum, dan dengan ketiadaannya berarti tidak ada hukum (masyrut). Contohnya syarat sahnya shalat harus berwudhu terlebih dahulu; syarat sahnya shalat harus sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya; syarat sahnya pernikahan harus ada wali; syarat sahnya perdagangan harus ada objek jual belinya, dan masih banyak contohnya, sehingga jika shalat tidak punya wudhu secara otomatis tidak sah shalatnya atau tidak dianggap telah melaksanakan hukum.

Baca juga: Kolom Pakar: Filosofi Hukum Islam Tentang Teori Maslahat

Syarat dibagi dua,yaitu:
1. Syarat haqiqi, suatu syarat utama bagi pekerjaan yang lain yang berhubungan langsung dengannya. Misalnya berwudhu sebagai syarat hakiki bagi adanya shalat; memiliki kemampuan ongkos-ongkos di perjalanan adalah syarat hakiki bagi ibadah naik haji. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 97 yang artinya : "Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

2. Syarat jali, yaitu segala hal yang dijadikan syarat oleh perbuatannya untuk mewujudkan perbuatan yang lain. Syarat jali ada empat macam, yaitu:
a. Syarat penyempurnaan adanya masyrut, dan tidak meniadakannya, seperti membayar kontan atau kredit dalam jual beli. Syarat ini boleh dan sah dilakukan;
b. Syarat yang tidak cocok dengan maksud masyrut dan berlawanan dengan hikmahnya, seperti syarat tidak memberi nafkah kepada calon isteri dalam perkawinan dan syarat tidak boleh menggunakan barang yang dibeli dalam perdagangan. Syarat demikian tidak boleh dilakukan;
c. Syarat yang tidak nyata-nyata berlawanan atau tidak nyata-nyata sesuai dengan masyrut. Sebagaimana dalam masalah ibadah, baru dinyatakan boleh dilakukan jika diperintah dengan nash yang jelas, sedangkan dalam urusan muamalah semuanya serba boleh, kecuali ada yang melarang dan mengharamkannya. Dalam ibadah tidak seorang pun boleh membuat syarat sendiri, sedangkan dalam muamalah dibolehkan sebagaimana kaidah Ushul Fiqh berbunyi al-ashl fi al-ibadah buthlanun hatta yaquma al-dalil 'ala al-amr (Asal dari ibadah itu terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkannya) dan al-ashl fi al-asy-ya-i al-ibahah hatta yaquma al-dalil 'ala al-tahrim atau al-ashl fi al-'uqud wa al-mu'amalah al-shihah 'illa madala al-dalil al-buthlan wa al-tahrim (Asal dari segala sesuatu itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya atau asal dari akad dan muamalah adalah sah, kecuali ada dalil yang melarang dan mengharamkannya);
d. Sesuatu pekerjaan yang tergantung kepada sebab dan syaratnya yang baku. Jika sebabnya dilakukan tetapi syaratnya tidak, maka pekerjaannya batal atau tidak sah. Seperti mengerjakan shalat karena sudah waktunya, tetapi tidak berwudhu terlebih dahulu, sebaliknya shalat dengan wudhu dulu tetapi belum tiba waktunya. (Hanafi : 1994:16)

Yang ketiga disebut mani' atau penghalang, yaitu sesuatu hal yang karena adanya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sabab bagi hukum. Sebagai contoh seseorang yang sedang shalat tiba-tiba buang angin, maka otomatis shalatnya batal. Perempuan yang sedang haidl, tidak dibenarkan melakukan hubungan suami isteri. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 222.

KONSEP MAHKUM FIH

Mahkum Fih adalah hukum taklifi, yakni perbuatan yang dihukumkan. Perbuatan yang dihukumkan adalah hasil dari pemaknaan dan pengungkapan maksud-maksud yang terkandung di dalam nash al-Qur'an maupun al-Hadits. Nash-nash itu sendiri ada yang muhkamah dan ada yang mutasyabihat, sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 7: arftinya: "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal."

Ayat-ayat muhkamah adalah yang bermakna jelas, sedangkan ayat-ayat yang mutasyabihah adalah ayat-ayat yang bermakna tidak jelas dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat. Dengan demikian maka ayat-ayat yang termasuk muhkamah ialah ayat yang terang maknanya serta lafadznya mudah dipahami dengan cepat. Adapun ayat-ayat yang mutasyabihah ialah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), yang mu'awwal (memerlukan ta'wil) dan yang musykil (sukar dipahami). Sebab, ayat-ayat yang bersifat mujmal membutuhkan rincian, ayat-ayat yang mu'awwal baru diketahui maknanya setelah ditakwilkan, dan ayat-ayat yang musykil samar maknanya dan sukar dimengerti.

Terutama untuk ayat-ayat muhkamah, makna dan maksud hukumnya mudah dipahami, sehingga nash-nash al-Qur'an yang muhkamah lebih banyak melahirkan taklif bagi para mukallaf. Sebagaimana perintah shalat dalam surat al-Isra ayat 78 yang artinya, Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

Ayat tersebut mudah dipahami makna dan maksud hukumnya. Kata "aqim" adalah fi'lu al-amr yang artinya perintah. Para ahli ushul fiqh menggunakan kaidah lughawiyah atau kaidah bahasa untuk mengeluarkan kandungan maksud dan hukumnya, yakni al-ashl fi al-amr li al-wujub, artinya asal dari perintah itu wajib. Untuk mengetahui shalat apa saja yang hukumnya wajib, maka digunakan penafsiran terhadap ayat bersangkutan. Pertama dengan memerhatikan secara langsung makna ayat bersangkutan, yang kedua dengan mengambil salah satu hadits yang berkaitan dengan shalat.

Baca juga: Kolom Ekonomi Syariah: Trust di Dunia Islam

Apabila diperhatikan dengan seksama, ayat tersebut tergolong kepada ayat muhkamat, karena dengan memaknakannya saja telah diketahui jenis-jenis shalat yang diperintah Allah atau yang kemudian wajib dilaksanakan. Yang pertama adalah kalimat "duluk al-syams", artinya sesudah tergelincir matahari. Yang kedua kata "ghasak al-lael", artinya terbenam matahari atau gelap malam, dan yang ketiga kata "al-fazr", artinya subuh. Dengan demikian shalat yang diwajibkan adalah shalat-shalat yang berkaitan dengan tiga waktu tersebut. Karena shalat yang dimaksudkan "tiga waktu", maka dilakukan penafsiran dengan pendekatan munasabah antar surat atau antar ayat, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud ayat 114-115 yang artinya: "Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan."

Dua surat dan ayat al-Quran tersebut memiliki munasahab al-surah wa al-ayah (hubungan antarsurat dan hubungan antarayat). Keduanya menjelaskan tentang perintah agar seseorang melanggengkan shalat maktubah (shalat yang diwajibkan) pada setiap dua sisi siang, yaitu waktu pagi dan sore, dan pada permulaan malam. Dua sisi siang adalah waktu subuh, dhuhur, dan ashar, sedangkan permulaan malam adalah maghrib dan isya. Penafsiran tersebut dimunasabahkan lagi dengan ayat-ayat yang lain, seperti dengan ayat 78 dalam surat al-Isra yang telah dikemukakan sebelumnya, dan dengan ayat 130 surat Thaha yang artinya: "Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang."

Surat al-Rum ayat 17-18 yang artinya: "Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu zuhur."

Pendekatan munasabah antarsurat dan munasabah antarayat menjelaskan secara terarah tentang shalat-shalat yang wajib dilaksanakan, jika ditinggalkan, maka pelakunya akan menerima sanksi di akhirat kelak, yang berupa dosa dan berakibat adab yang pedih. Dan maksud dari taklif tersebut lebih terarah lagi, ketika mufassir melakukan penafsiran dengan metode bi al-riwayat, yakni bukan hanya menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, tetapi juga menafsirkan al-Qur'an dengan al-Hadits. Sebagaimana ayat-ayat yang memerintahkan shalat diperjelas oleh hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Na'im yang diterima dari Anas, yakni sebagai berikut:

الصلواة الخمس كفارة لما بينهن مااجتنبت الكبائر – رواه ابو نعيم عن انس-

Shalat lima waktu adalah penutup dosa pada waktu di antara sela-selanya, selagi dosa-dosa besar itu dihindarkan.

Bahkan dalam hadits lain tentang pertanyaan sahabat kepada beliau mengenai shalat yang berbunyi:

مافرض الله علي من الصلاة ؟ قال الصلواة الخمس –رواه البخارى ومسلم-

Shalat apa saja yang difardhukan kepadaku? Rasulullah saw. menjawab shalat lima waktu.

Contoh mengenai pemahaman atas nash al-Qur'an makna dan maksud hukumnya dikeluarkan dengan pendekatan tafsir tersebut –yang berkaitan dengan shalat lima waktu- hubungannya dengan konsep mahkum fih atau hukum taklifi, memberikan kejelasan bahwa hukum-hukum yang dibebankan kepada mukallaf adalah akibat dari nash-nash yang diistinbathkan oleh para ulama dengan berbagai metode dan pendekatan. Sebagaimana perintah shalat yang dinyatakan wajib adalah shalat lima waktu, maka selain yang lima waktu tergolong shalat yang disunnahkan, yang jika ditinggalkan tidak berdosa dan tidak ada sanksi hukumnya. Dalam hal ini untuk shalat jum'at berbeda nash yang memerintahkannya.

Mahkum fih itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya terdiri dari lima jenis, yaitu:

1. Wajib, jika dilihat dari tertentu atau tidaknya perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan, dan diberi siksa jika ditinggalkan, dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: (1) wajib mu'ayyan, yakni yang kewajibannya telah ditetapkan macam perbuatannya, seperti berwudhu sebelum shalat, membaca fatihah dalam shalat; (2) wajib mukhayar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam kifarat orang yang melakukan hubungan suami isteri di saat berpuasa di bulan Ramadhan, yakni memberi makan 60 fakir miskin atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dalam hal itu dapat dipilih salah satunya. (Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, 1977:18).

2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya, ada dua macam wajib, yakni: (1) wajib mudhayaq atau mi'yar (yang disempitkan), yakni waktu untuk melaksanakannya sama dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan. Misalnya kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh; (2) wajib muwassa' atau dzarf (waktu yang diluaskan), yakni waktu yang lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban. Seperti waktu melaksanakan shalat lima waktu. Melaksanakan shalat tidak menghabiskan waktu selama waktu shalat masih ada.

3. Dilihat dari segi pelakunya, wajib dibagi dua, yaitu: (1) wajib 'ain, yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh semua mukallaf, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan; (2) wajib kifayah, yakni perbuatan yang harus dilaksanakan oleh salah seorang mukallaf, jika telah ada yang melaksanakanya, maka kewajiban mukallaf yang lain gugur, misalnya menyolati jenazah.

4. Dilihat dari segi ukurannya atau kuantitasnya, wajib dibagi dua, yaitu: (1) ketentuan yang jumlahnya telah ditetapkan syara', disebut dengan wajib muhaddad, seperti shalat lima waktu, zakat, pembagian harta waris, puasa Ramadhan, dan membayar kifarat; (2) wajib ghair muhaddad, kewajiban yang tidak ditentukan batasan dan hitungannya, seperti kewajiban berinfaq bagi orang yang mampu, hukumnya wajib hanya batasannya tidak diwajibkan. Sebagaimana infaq dari profesi pekerjaan kita, hukumnya wajib, tetapi persentasenya bebas. Karena jika kadarnya telah ditentukan, itu namanya bukan infaq melainkan zakat.

HUKUM TAKLIFI

Hukum taklifi, di antaranya hukum sunnah, haram, makruh, dan mubah atau ibahah. Tentang makruh dibagi dua macam, yaitu: (1) makruh tanzih, yakni perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada dilaksanakan; (2) makruh tahrim, yakni perbuatan yang dilarang tetapi dalilnya zhanni. Contohnya memakan binatang yang bertaring, larangan mengenai memakannya bertentangan dengan al-Qur'an yang menyatakan bahwa yang haram dimakan hanyalah bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang bukan karena Allah (untuk kemusyrikan). Sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 173 yang artinya : "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Mubah adalah hukum asal dari segala sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Terlarangnya suatu perbuatan muamalah hanyalah ada jika ada dalil yang melarangnya dengan jelas dan tegas (qath'i dilalah). Misalnya khamr, berjudi, mengundi nasib, mendatangi dukun, jual beli sistem gharar, dan melakukan penipuan.

Baca juga: Paradigma Kepemimpinan Visioner dan Amanah

Mubah dibagi tiga macam, yaitu:
1. Mubah yang dinyatakan syara' boleh memilih, hendak mengerjakannya atau meninggalkannya, tergantung suka atau tidaknya mukallaf;

2. Mubah yang tidak ada dalilnya tetapi dapat dipertimbangkan oleh rasio, artinya boleh memilih untuk melakukan, dan jika meninggalkannya tidak berdosa. Melaksanakan atau tidaknya lebih atas pertimbangan akal;

3. Mubah yang sama sekali tidak ada dalilnya, sebagai mubah yang banyak ditemukan.

Perbuatan hukum yang telah dikemukan di atas, merupakan bentuk-bentuk hukum yang dibebankan kepada mukallaf sebagai objek dan subjek hukum. Dalam melaksanakan setiap taklif tersebut mengacu kepada perintah-perintah yang terdapat dalam nash, baik al-Qur'an maupun al-Sunnah. Setiap perintah ditujukan kepada perbuatan yang mungkin terjadi atau memungkinkan untuk dilaksanakan, jika terdapat perintah yang tidak memungkinkan untuk dikerjakan, seperti ketika kondisi darurat, maka perintah tersebut akan berubah menurut kemampuan mukallaf. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 286 yang artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."

Fenomena hukum berjalan sesuai dengan fitrahnya secara alamiah adalah merupakan respons bagi gejala sosial yang ada. Hukum yang hadir dan berlaku adalah hukum yang dibutuhkan oleh manusia yang sifatnya alamiah. Kebutuhan alamiah tidak dapat digantikan oleh kebutuhan lainnya, sebagaimana manusia ingin mengetahui sesuatu, manusia ingin cantik, ingin kaya, ingin berkeluarga, mengharapkan keturunan, dan sebagainya adalah merupakan gejala alamiah dan kebutuhan normal kemanusiaan. Allah menurunkan hukum melalui ayat-ayat kauniyahnya dan kalamullah dalam al-Qur'an sebagai respons terhadap kebutuhan alamiah manusia. Sedangkan kebutuhan manusia yang bukan alamiah, bukan fitrah, dapat digantikan oleh bentuk-bentuk yang berbeda. Sebagaimana hukum adat, kebiasaan-kebiasaan, dan Undang-undang. Semua peraturan yang dibuat oleh manusia bukan merupakan kebutuhan alamiah, sedangkan yang sifatnya alamiah, misalnya rasa lapar dan berharap dapat makanan hingga kenyang. Lapar tidak akan dapat digantikan kecuali setelah makan. Rasa kenyang pun bersifat alamiah karena mutlak merupakan hukum alam yang dibuat oleh Allah. Mendambakan rasa aman, mempertahakan hidup, dan menikah. Berbeda dengan kebiasaan-kebisaan, misalnya kebiasaan berolah raga, kebiasaan minum kopi, bagaimana pun sudah menjadi kebiasaan, tetapi masih dapat dihindarkan dan dihentikan jika pelaku menghendakinya. Dengan demikian hukum adat pun bukan merupakan hukum yang bersifat alamiah dan fitrah, karena hukum adat dapat digantikan oleh hukum modern dan oleh pelbagai penemuan dalam hukum dewasa ini.

Pembuat hukum atau Hakim adalah Allah. Allah sebagai pencipta hukum yang berjalan dengan fitrah-Nya. Keberadaan Ilmu Asbab Nuzul dalam kajian 'Ulum al-Qur'an, latar belakang turunnya ayat al-Qur'an, memberikan pemahaman bahwa sebab-sebab turunnya al-Qur'an merupakan gejala sosial, sedangkan hukum yang lahir merupakan produk dari gejala tersebut, membuktikan bahwa al-Hakim menurunkan dan menciptakan hukum sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia yang berkeinginan mempertahankan kehidupannya.

Allah sebagai Hakim siap menerima berbagai keluhan, ide dan gagasan serta segala hal yang lain untuk dikomunikasikan dengan-Nya. Di samping sebagai objek hukum, manusia adalah juga subjek hukum. Karena hukum yang ada diperuntukan untuk mengatur kehidupan manusia dengan sesamanya, oleh karena itu manusia menjadi objek hukum. Manusia yang taat dan menjalankan hukum yang berlaku, adalah subjek hukum, yang mempraktekkan kehendak hukum. Manusia yang taat terhadap hukum-hukum Allah, adalah hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.

Baca juga: Kolom Ekonomi Syariah: Pangan Dalam Perspektif Ekonomi Syariah

Hukum yang hakimnya Allah maupun hukum produk manusia, keduanya merupakan sistem aturan yang di dalamnya bukan hanya memuat peraturan, tetapi ada hubungan fungsional antara aturan, penegak aturan, subjek dan objek aturan serta institusi yang mewadahinya. Terlebih lagi dengan hukum-hukum Allah, bukan hanya sebagai tatanan perbuatan manusia, tetapi peraturan tentang kehidupan yang ghaib, immaterial, tentang keyakinan yang transenden, dan kehidupan alam fisikal lingkungan hidup, seperti tumbuhan dan binatang. Dalam hal ini, Hans Kelsen (2006:3) mengatakan bahwa konsep hukum sebagai suatu tatanan perbuatan manusia yang menjadi sistem aturan dan seperangkat peraturan yang mengandung berbagai komponen yang integral. Tatanan kehidupan manusia bukan mutlak persoalan individu manusia sebagai makhluk, tetapi terkait dengan alam dimana manusia melangsungkan kehidupannya. Semua tatanan kehidupan alamniah dan kemanusiaan, baik yang fisikal maupun non fisikal, material dan immaterial, rasional dan irrasional, natural dan supra-natural, adalah hukum yang memiliki kodratnya masing-masing, yang ujung-ujungnya dipersembahkan untuk keseimbangan hidup manusia dan alam secara universal.

Dengan pemahaman di atas, maka subjek hukum yang berada pada gejala sosial adalah manusia sendiri. Ketika manusia membuat hukum sebagai sistem aturan dan tatanan kehidupannya, maka manusia menjadikan dirinya sebagai objek hukum yang diproduk oleh dirinya sendiri. Sama halnya dengan hukum yang dibuat oleh Allah, hukum-hukum-Nya yang tertulis maupun yang tidak tertulis (al-Ahkam al-Maktubah/al-Qur'an) dan hukum-hukum yang tidak tertulis dalam bentuk alam jagat raya ini (al-ahkam ghair al-maktubah) menjadikan manusia sebagai subjek dan objek hukum, hanya hukum yang diyakini benarnya dan diamalkan bukan hukum produk manusia yang kebenarannya relatif, sehingga hukum yang dipandang sebagai aturan –karena buatannya sendiri- dapat berubah dan diubah setiap hari bila manusia mau melakukannya. Berbeda dengan Hukum Allah, kebenarannya tidak hengkan oleh perubahan ruang dan waktu, sehingga yang berubah bukan produk –Nya, melainkan penafsirannya yang juga sebagai hasil pemikiran manusia. Nasraddin Razak (2000:310) mengatakan bahwa hukum Allah adalah ketetapan Allah yang sudah pasti, yang menetapkannya adalah Allah sebagai Hakim. Dengan demikian tidak terdapat kekhilafan pada ketetapan-Nya karena Dialah Hakimnya.

Subjek hukum adalah orang yang memenuhi hak dan tanggung jawab atas hukum yang berlaku. Apabila dengan keadaan fisik dan psikisnya seseorang telah layak menerima hak dan menjalankan kewajibannya, maka ia telah dapat dikategorikan sebagai subjek hukum. Sedangkan bagi siapapun dan apapun yang berada pada kepemilikan atau kekuasaan untuk menguasainya, dengan demikian menjadi hak personalnya, maka hal itu menjadi bagian dari objek hukum. Dan ketika berbicara tentang hak dan kewajiban subjek hukum, menurut Hans Kelsen segala hal yang berkaitan dengan Badan Hukum adalah hak dan kewajiban manusia. Dengan demikian sentralitas subjek dan objek hukum adalah manusia.

Hukum yang ketetapannya pasti benar dan menjadikan manusia sebagai subjek dan objek hukum, adalah Hukum Allah yang dapat digambarkan dengan ayat-Nya dalam surat al-'Araf ayat 157, yang artinya: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Makna ayat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perintah untuk manusia agar menjalankan yang benar;
2. Perintah meninggalkan perbuatan yang jahat dan dhalim;
3. Mencari segala sesuatu yang halal dan meninggalkan sesuatu yang haram;
4. Menjauhkan beban hidup manusia dengan taat kepada hukum-Nya;
5. Memberi pahala bagi pelaksana hukum yang ikhlas dan didasarkan kepada kesadaran yang tinggi.

Lima hal yang menjadi pedoman hukum dari ketentuan yang diproduk oleh Allah sebagai Hukmullah memberikan inspirasi kepada ahli hukum Islam (fuqaha dan Ushuliyyin), bahwa secara substansial materi hukum terdiri atas perintah mengerjakan sesuatu dan perintah meninggalkan sesuatu yang dikategorikan dengan istilah perintah dan larangan. Apabila seseorang melaksanakan hukum dalam konteks hukum buatan manusia, dan dalam pelaksanaannya tidak terdapat pertentangan dan penyimpangan dengan hukum yang berlaku, maka perbuatan tersebut tidak akan dipermasalahkan oleh hukum, karena hukum yang dibuat manusia hanya bertujuan untuk menyentuh pelanggaran hukum bukan kesadaran dan ketaatan hukum. Sebagai contoh, seseorang yang belanja pakaian di toko baju dengan uangnya sendiri dan atas kehendaknya adalah orang yang sudah menjalani hukum dengan baik dan benar, tetapi menjalani hukum yang dimaksudkan tidak dipedulikan oleh hukum karena seharusnya demikian. Berbeda jika seseorang belanja pakaian dengan uang hasil curian, maka ia akan dipermasalahkan oleh hukum dan menjadi bagian dari kerja hukum melalui para penegak dan praktisi hukum di kepolisian maupun di pengadilan. Oleh karena itu, hukum buatan manusia yang berupa Undang-undang, peraturan, instruksi, kebijakan, keputusan pemerintah, Pidato Presiden, dan sebagainya jika dipatuhi dengan baik dan benar, tidak jelas imbalannya, karena tidak tertera secara tekstual dalam pasal-pasalnya, sedangkan jika melanggar hukum, sanksinya jelas.

KESIMPULAN

Hukum buatan manusia yang nantinya manusia sebagai subjek dan objek hukum secara material mengedepankan larangan-larangan tentang berbagai tindakan yang melanggar hukum, yang akan dikenakan sanksi apabila telah terbukti bersalah. Sedangkan hukum-hukum Allah secara material keberadaannya seimbang antara perintah maupun larangan. Bagi pelaksana perintah-Nya pahalanya berlipat sedangkan bagi pelaksana larangan-larangan-Nya akan mendapat sanksi seimbang dengan perbuatannya. Kebaikan dinilai sepuluh kali lipat bahkan tujuh ratus lipat, sedangkan kejahatan akan berbuah sanksi yang sebanding dengan bentuk dan perilaku kejahatan itu sendiri.

Baca juga: KOLOM EKONOMI SYARIAH: Utlubul Ilma Walau Bi Tsin

Realitasnya subjek hukum itu adalah orang yang sudah dewasa atau baligh dan anak yang sudah mempunyai kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk (mumayyiz). Orang yang sudah baligh dan telah wajib mengatur kehidupannya sendiri adalah orang yang sudah menikah atau pernah menikah. Dari segi usia umur orang yang dianggap telah baligh atau dewasa adalah kurang lebih telah berumur 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, karena usia tersebut diizinkan oleh Undang-undang untuk menikah (UU N0.1/1974 Pasal 7). Dengan demikian orang-orang yang belum baligh menurut hukum, yang menjadi subjek hukumnya adalah walinya. Subjek hukum yang sah menurut hukum dan asas hukum yaitu orang yang sanggup memahami nash-nash hukum dan telah pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman. Misalnya orang yang sanggup mengerjakan dan sanggup pula meninggalkan suatu perbuatan, dialah subjek hukum yang layak menurut hukum.

Dengan pemikiran di atas, maka objek hukum bukan hanya orang-orang yang sudah baligh atau sudah mumayyiz sebagaimana telah diuraikan, anak yang usia di bawah umur dan bayi pun merupakan objek hukum. Benda yang tidak bergerak, harta kekayaan, surat-surat berharga, dan sebagainya adalah termasuk objek hukum? Mengapa yang menjadi objek hukum tidak terkait dengan usia dan menyentuh semua hukum kebendaan, tentang benda yang bergerak dan yang tidak bergerak? Karena hukum dibuat untuk melindungi subjek dan objek hukum dari ketidakamanan dan kejahatan dengan sekaligus menegakkan prinsip keadilan dan persamaan. Prinsip keadilan dibangun oleh prinsip kemanusiaan, prinsip persamaan hak dan kewajiban. Dalam hal ini Hans Kelsen mengatakan bahwa tatanan sosial yang merupakan tatanan yang adil yang menerapkan hukum dalam kehidupan manusia dengan cara yang memuaskan bagi semua orang sehingga semuanya menemukan kebahagiaan sesuai dengan perasaannya masing-masing. Kerinduan akan keadilan merupakan kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan, dan keadilan adalah kebahagiaan sosial. (Hans Kelsen, 2006:7)

Dengan pandangan Hans Kelsen tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum bukan hanya memperhatikan subjeknya tetapi sekaligus objeknya. Subjek hukum harus memenuhi syarat-syarat fisik dan psikalnya, sedangkan objeknya tidak mutlak demikian, bahkan kambing pun menjadi objek hukum, sebagaimana kerbau sebagai makhluk yang tidak berpikir adalah bagian dari objek hukum. Hanya objek hukum yang merupakan kebendaan dan kepemilikan, baik benda hidup atau benda mati, bergerak dan yang tidak bergerak, senantiasa dikaitkan kepada manusia yang sudah pantas menjadi subjek hukum.

Komponen-komponen yang menguatkan hukum dan mengabadikan hukum sebagai panglima bagi tegaknya keadilan dan persamaan hak serta kewajiban adalah:
1. Adanya hukum yang berupa ajaran yang bersumber dari agama yang dianut oleh masyarakat;
2. Adanya hukum yang berbentuk norma sosial yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat lokalnya;
3. Adanya keyakinan bahwa sanksi hukum berlaku di dunia dan di akhirat, yang natural dan yang supra natural, yang imanen dan yang transenden;
4. Adanya hukum yang dibuat oleh lembaga hukum di suatu negara yang berupa Undang-undang;
5. Adanya para penegak hukum yang jujur dan adil;
6. Adanya para praktisi hukum, advokat atau pengacara dan hakim yang berani memperjuangkan hukum hanya dengan keadilan dan Nama Tuhan Yang Maha Esa;
7. Adanya Sistem Peradilan yang terbuka dan berpegang kepada prinsip persamaan hak dalam diperlakukan oleh hukum, untuk dan demi hukum;
8. Adanya keputusan dan ketetapan hukum berikut sanksinya yang dilaksanakan dengan pasti sesuai dengan kejahatannya; dan
9. Adanya lembaga pemasyarakatan yang dapat menjerakan para pelaku kejahatan dan mengembalikan kehidupannya yang senantiasa taat kepada hukum.

Setiap perbuatan harus dapat dibedakan kedudukan hukumnya dan jenis-jenisnya, sehingga setiap akan melaksanakannya sesuai dengan niyat mukallaf yang bersangkutan, karena semua perbuatan tergantung kepada niyatnya. Jika pekerjaan tanpa diniyatkan dengan baik, maka perbuatan itu sia-sia.Sebaliknya setiap perbuatan yang diniyatkan atas nama Allah, maka bernilai ibadah. Niyat adakah fondasi tercapainya tujuan, karena itulah, maqasid al-lafazh 'ala niyah al-lafazh, setiap perkataan pun tergantung kepada niyatnya.

Semua perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf harus diketahui asal muasal perintahnya, sehingga perbuatan yang dilakukan didasarkan kepada rasa taat kepada yang memerintahnya, atas kesadaran personal dan kesadaran ilahiyah yang tegas.

(*Dosen Pascasarjana (S3 Hukum Islam) UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Sabtu 18 Januari 2025
Imsak
04:19
Shubuh
04:29
Dhuhur
12:07
Ashar
15:30
Maghrib
18:19
Isya
19:33
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan